Agen Monopoly Online Indonesia

Agen Monopoly Online Indonesia
Silahkan bergabung dengan kami dan jadilah Jawara Monopoly Indonesia

1,4 Juta Ekstasi Milik Fredi Budiman

Gedung B kantor pusat Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Rawamangun, Jakarta Timur. Hari itu, 15 Mei 2012, rapat digelar dihadiri tim dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Atensi khusus diberikan BNN terhadap satu kontainer dari Pelabuhan Lianyungan, Shenzhen, China.

BNN mencurigai ada narkoba dalam pengiriman bernomor TGHU 0683898. Perintahnya jelas, jika ditemukan para petugas bea cukai diminta bersikap wajar. Dugaan itu terbukti ketika dilakukan pembongkaran pada 22 Mei.
Barang diangkut kapal YM Instruction Voyage 93 S menuju Jakarta, 28 April, mendarat di Pelabuhan International Container Terminal (JICT) Tanjung Priok, pada 8 Mei. Dalam dokumen pengiriman atau bill of lading (BL) tertera nama PT Primer Koperasi Kalta milik Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS TNI).

Satu persatu barang dikeluarkan, isinya akuarium beserta perintilan lain seperti sponge, activated, filter dan aksesoris akuarium. Di sudut kiri bagian dalam kontainer ada 12 karton, dan salah satunya terdapat pil warna oranye. Total 1,4 juta ekstasi ditemukan.

Tiga hari kemudian, 25 Mei barang haram itu diangkut keluar dari Pelabuhan Tanjung Priok. BNN yang sudah melakukan operasi controlled delivery menghentikan truk yang membawa barang haram itu di jalan pintu masuk Tol Bintang Mas, Ancol Pademangan, Jakarta Utara. Barang itu hendak diantar ke gudang penimbunan Jalan Kayu Besar Dalam 99 No 22 RT 11 RW 01, Cengkareng, Jakarta Barat.

Peristiwa penangkapan ini rupanya membuat Laksda Soleman B. Ponto, Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS TNI) saat itu marah. Dia merasa dikhianati karena tak diberikan laporan adanya satu kontainer lagi masuk. Hanya dua laporan yang diterimanya. Padahal sudah ada komitmen dengan bea cukai untuk berkoordinasi melakukan pemeriksaan.

Seluruh kontainer diketahui menggunakan jasa PT Primer Koperasi Kalta. Ponto pun buru-buru menyuruh perwira berpangkat mayor untuk menanyakan kejanggalan ini ke anak buah Direktur Jenderal Bea Cukai yang saat itu dijabat Agung Kuswandono.

"Ini aneh, ada apa? Kok tidak dikoordinasikan dengan saya soal temuan itu. Saya curiga memang sengaja perintahnya tak dipatuhi karena dapat mengganggu kepentingan BNN dan bea cukai," ujar Ponto kepada merdeka.com, Senin (8/8).

Sebelum kejadian Ponto memang sudah meminta aktivitas koperasi BAIS yang bergerak di bidang forwarder dihentikan. Panglima TNI saat itu Laksamana Agus Suhartono juga memerintahkan Ponto agar memeriksa semua kontainer yang diurus Primkop Kalta.

Untuk dua kontainer yang dilaporkan kepadanya tak bisa dihentikan karena pengirimannya sudah berjalan. Ponto sempat berang, namun akhirnya bisa memaklumi. Di hari penangkapan oleh BNN dia mendapat informasi jika Kepala kantor cabang Primkop Kalta Serma Supriyadi ikut diciduk.

Supriyadi telah diadili dan dihukum 7 tahun penjara. Anggota TNI AU itu terbukti mengurus persuratan dengan memalsukan dokumen untuk mengeluarkan kontainer isi narkoba dari pelabuhan.

Dia mengaku memilih bersikap pasif meski secara institusi berkepentingan. Jebolan Akmil 1978 juga tak berusaha berkomunikasi dengan para petinggi BNN saat itu.

"Kalau masuk terlalu dalam nanti saya dikira melindungi, bisa diputarbalikan. Biarkan saja, setelah itu ditangani oleh POM," tuturnya.

Ponto juga melihat ada kejanggalan ketika BNN sudah mengetahui secara detail jika kontainer nomor TGHU 0683898 berisi narkoba. Menurutnya, data rahasia seperti itu berupa kapal, waktu keberangkatan hanya diketahui oleh pemilik barang.

"BNN tahu nomor kontainernya dengan detail. Seharusnya kalau mereka tahu kan tidak boleh keluar itu kontainer. Kenapa tidak ditangkap saja di pelabuhan, tapi malah dibiarkan keluar?" tanya Ponto heran.

"Ada kemungkinan Fredi Budiman sebagai pemilik barang sudah memberitahukan BNN dan Bea Cukai," tutur pensiunan jenderal bintang dua tersebut.

1,4 Juta ekstasi itu masuk ke Indonesia karena adanya persekongkolan Chandra Halim alias Akiong bin Tingtong, Fredi Budiman dan Hani Sapta Pribowo. Ketiganya sama-sama tengah menjalani hukuman di Lapas Cipinang. Fredi telah dieksekusi mati. Ekstasi itu versi BNN telah dimusnahkan di Lido, Jawa Barat.

Mantan Deputi Pemberantasan Narkoba Badan Narkotika Nasional (BNN) Irjen (Purn) Benny Mamoto mengatakan sengaja menunggu narkoba itu keluar untuk mengetahui tujuannya. Metode ini disebut control delivery dalam operasi intelijen BNN.

Benny pun mengakui sebagai pemimpin operasi secara diam-diam sempat memeriksa isi kontainer tersebut dengan disaksikan petugas bea cukai. "Setelah dipastikan isinya narkoba ditutup lagi, kenapa? Karena kita menunggu barang itu mau dikirim ke mana," imbuhnya.

Menurut Benny, dalam proses pengintaian BNN memang menunggu siapa akan urus barang haram itu, siapa mengeluarkan, siapa menerima dan di mana lokasi penerimaannya. Kala itu ada dua motor yang menunggu truk melintas, sehingga truk dihentikan dan kemudi diambil alih oleh aparat.

"Terungkaplah bahwa yang mengurus gudang itu adiknya Fredi Budiman. Kita juga mulai tahu keterlibatan Supriyadi, perannya apa. Dia yang mengurus surat-suratnya sampai keluar," jelasnya.

Agung Kuswandono saat dikonfirmasi menolak permintaan merdeka.com untuk menjelaskan prosedur keluarnya ekstasi Fredi. "Maaf saat ini saya belum bersedia diwawancarai," katanya melalui WhatsApp.

Kasubdit Komunikasi dan Publikasi Bea Cukai Deni Surjantono menjelaskan ada standard operating procedure (SOP) terhadap setiap barang yang masuk ke pelabuhan. Tahap pertama masuk dicek dokumennya, lalu ada invoice, dan packing list.

Lalu, dilampirkan pemberitahuan info barang (PIB), dokumen diteliti adakah ketentuan dokumen larangan pembatasan atau tidak. Menurutnya, ada 18 instansi pemerintah yang ada di Indonesia National Single Window (INSW).

"Kalau belum lengkap harus dilengkapi izinnya. Dokumen jalan kalau ada barang itu wajib diperiksa fisik. Dilakukan oleh pemeriksa fisik atau pemeriksa barang dan itu berdasarkan surat tugas," jelasnya.

Pengecekan itu juga dilakukan dengan memperhatikan jumlah dan jenis barang. Setelah sesuai dokumennya diteliti, tarif yang masuk, termasuk nilainya apakah sesuai dengan nilai transaksi atau tidak.

"Setelah itu terbit Surat Pemberitahuan Pengeluaran Barang (SPTB). Jadi kalau barang keluar dari pelabuhan ada SPTB itu. Intinya pengecekan dokumen," tuturnya.

Namun, lanjutnya, ada juga barang yang memang tidak dilakukan pemeriksaan fisik, itu karena masuk ke jalur hijau. Masuk kategori jalur hijau karena jalur importirnya bagus terus profil komoditinya tidak wajib.

Lalu kenapa barang narkoba dibiarkan lewat? "Kenapa barang itu bisa lewat, kita juga harus adu pintar dengan sindikat, semakin kita pintar kita belajar. Adu pintar, pemeriksaan sudah melakukan secara optimal. Jadi kan di pelabuhan itu kan ribuan kontainer, jadi kalau ada satu yang mojok kontainer tidak dipratinjau atau kalau tidak diperiksa 100 persen nanti akan membuat pelabuhan menjadi penuh," jelasnya.

"Pada intinya kita berkomitmen pengawasan yang optimal supaya barang-barang yang berbahaya itu tidak masuk," tandasnya.
Previous
Next Post »

Agen monopoly indonesia